“Waktu nya tinggal 10 menit lagi
ya anak anak, jangan coba coba lirik ke kanan dan ke kiri”. Kata guru ku
sewaktu di SMA dulu. Sontak hampir semua kami siswa yang ada di dalam kelas
tersebut “gelagapan” kebingungan karna masih banyak soal yang belum terisikan
di lembar jawaban yang ada di meja kami masing-masing. Maklum saja mata
pelajaran yang sedang di ujikan saat itu sangat cukup membuat kepala ini pusing
tidak karuan karena rumus-rumusnya yang menurut ku sangat banyak dan harus di
mengerti, di pahami yang kemudian akhir nya di terapkan ke soal soal yang sejak
tadi menungguku untuk menulis jawaban nya di sana. Ya.. apalagi kalau bukan
mata peljaran matematika, yang kemudian di jam ke dua akan di lanjutkan dengan
fisika dan di akhiri dengan bahasa indonesia. Dahsyat bukan ???. masih ingat
ketika awal soal-soal itu di bagikan per siswa, dengan PD nya kami melihat,
membaca dan membolak balik soal tersebut, kalau-kalau ada soal yang mudah yang
bisa di kerjakan terlebih dahulu, tapi nyatanya nihil.
Tepat pukul 08.00 suara bel
terdengar, menandakan ujian sudah bisa di laksanakan, dan bagi kami para siswa
itu adalah waktu nya untuk bertempur melawan soal-soal yang menantang ini. Aku
berada di kelas 12 ipa 4. Bersama teman teman seperjuangan dahulu, kami
berharap utntuk cepat menyelesaikan semua ujian ini, yang kemudian kami
mendapat surat tanda ke lulusan. Perlahan tapi pasti kulanjutkan membaca soal
soal ini. Kulihat waktu “ah, baru 30 menit”, santai saja lah. Dan ketika aku melihat ke arah teman-teman ku,
mereka nampak nya pun mengalami ke sulitan dalam menjawab soal-soal ini. Aku
kembali bergumam “gimana ini, baru ngerjain 30 menit , baru dapet 12 soal,
sedangkan semua soal ada 40, payah”. Kukumpulkan segenap semangat untuk
melanjutkan menjawab tantangan besar ini. Kemudian kulirik ke mata pelajaran
selanjutnya, yaitu fisika. “subhanallah”gumamku. Ini soal apa soal. Kenapa
isinya angka semua, enggak ada gambar ataupun warna yang menarik di soal fisika
ini, gumamku. 40 soal harus ku taklukan lagi.
Aku mulai mengerjakan dari hal yang termudah, itulah kunci setiap siswa dalam
menyelesaikan soal soal yang dahsyat seperti ini. Waktu telah berjalan selama
60 menit, lumayan juga gumamku. Kulanjutkan ke mata pelajaran yang menurutku
tidak perlu memeras otak yang berlebih. Yup, apalagi kalau bukan bahasa
indonesia. Kubuka lembar demi lembar, baru melihat sekilas saja aku sudah
merasa pusing, ini bahkan menyerupai koran, di setiap soal terdapat paragraf
ataupun narasi yang jika di lihat sepintas butuh waktu juga untuk membacanya.
Tapi apa mau di kata, ini semua demi masa depan. Harapan orang tua dan harapan
semua orang yang mendo’a kan agar cepat lulus. Kami terus berjibaku dengan soal-soal
ini. Hingga ku mendengar ada suara yang memanggil dari arah samping. Suaranya
lirih dan kecil, tapi aku tetap bisa mendengarnya. Mungkin ini yang namanya
insting ketika dalam situasi ujian, segala hal yang dapat membantu dalam proses
ujian ini pun di lakukan. Tidak terkecuali “mencontek”. Maklum, ini adalah
pilihan terakhir ketika fikiran sudah buntu dan tidak ada jalan lain,hehehe.
Kulirik kesebelah kiri ternyata sahabatku yang memanggil (maaf, tidak sebut
merk ya). Kujawab dengan suara lirih juga, bahkan seperti bahasa tanpa suara.
Hanya mulut yang terbuka di kejadian itu. Dia berkata “nomor 35 bagian fisika
apa ?”, dan hebat nya lagi aku dapat mengerti dengan ucapan nya tadi. Padahal
jika harus berbicara normal, kami terkadang sulit mendengar dengan suasana
kelas yang sangat super berisik. Kuberikan jawaban ku, yang kemudian menyusul
dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Yang membuat ku agak tercengang saat
itu ialah, ia bahkan menanyakan soal bahasa indonesia yang menurutku anak SMP
saja bisa menjawabnya. Keterlaluan sekali dia, fikirku.
Akhirnya semua mata pelajaran
yang di ujikan saat itu berakhir. Hal hal yang “berbau” SMA akan segera ku
tinggalkan. Tidak akan ada lagi canda tawa yang kami lakukan setiap saat. Tidak
akan ada lagi cerita-cerita seputar cowok atau cewek yang kami lakukan ketika
sampai di sekolah. Tidak akan ada lagi makan bersama di kantin walaupun hanya
gorengan seharga dua ribu rupiah. Tidak akan ada lagi guru guru yang “killer”
ketika memberikan tugas. Dan aku..merindukan itu semua. Ada persahabtan yang
terjalin disana, dan cinta pastinya. Walaupun cinta-cinta yang enggak jelas,
tapi itu sudah cukup membuat cerita untuk kami nantinya, jika suatu hari nanti
bertemu lagi dengan keadaan yang berbeda pula pastinya.
Masih teringat jelas ketika awal
awal masuk SMA dulu. Dengan suasana yang berbeda, di sekolah yang sebelumnya
tidak pernah terfikirkan oleh ku. Namun apa daya, aku tidak mungkin mundur,
hanya untuk menunggu tahun depan dan dapat bersekolah di SMA NEGERI . Semua
sudah di tuliskan oleh yang MAHA KUASA. Aku berniat dalam hati “untuk saat ini
boleh saja saya sekolah di sekolah swasta yang biayanya mahal, tapi nanti saya
buktiin saya akan kuliah di negeri, dan saya tunjukkan pada kalian yang
meremehkan lulusan sekolah saya, bahwa kami pasti masuk perguruan tinggi
negeri”. Setahun, dua tahun dan sampai di penghujung tahun aku dan
teman-temanku memakai seragam putih abu-abu kebanggaan kami. Hingga tiba
pengumuman kelulusan di depan mata.
Kami memiliki wali kelas yang
dengan sabar membagi ilmu nya dengan kami dan membimbing kami menjadi manusia
yang nantinya menjadi SDM yang mumpuni. Dan akhirnya angakatan kami lulus 100%.
Yang menandakan kami siap bertarung kembali menaklukan ujian untuk masuk ke
perguruan tinggi negeri pilahan masing masing. Awal titik perjalanan yang
sesungguhnya di mulai. Melupakan bukan berarti menghapus seutuh nya
kenangan-kenangan itu. Kenangan bersama teman-teman selama 3 tahun bersama,
kenangan di jemur guru satu kelas karena tidak ada penghapus ketika pelajaran
berlangsung, dan kenangan dengan “DIA”. Ya, dia yang pernah membuat hari hari
ku terasa berwarna-warni dengan hadir nya dia. Membuat semua nya terasa
sempurna saat itu, dan membuat ku mengerti betapa indahnya mencintai.
Tapi itu dulu, semua keindahan
itu sirna seiring dengan berjalan nya waktu. Aku masih belum bisa menerima
kenyataan kalau ini semua berakhir. Hingga, setahun berlalu dan sedikit demi
sedikit pulih, hadir lah “DIA”, yang belum pernah aku jumpai selama ini. Bahkan
melihatnya saja belum pernah. Awal nya kukira hanya kebetulan saja
Kami merajut asa untuk bersama
dan bertahan dengan semua yang ada. Ketika toleransi beragama itu di pergunjingkan dan di pertanyakan, kami
dapat membuktikan itu. Dia dengan tuhan nya dan aku dengan tuhan ku yang maha
kuasa di atas segalanya. Bohong sekali ketika orang bertanya “ada kesulitan
enggak selama ini kalian berdua dalam manjalani hubungan ini” yang kemudian kami menjawab “tidak”. Yang
dalam nyatanya kami berdua lah yang menjalaninya. Mecoba berpegangan tangan
ketika semua terasa sakit dan pahit, mencoba saling menguatkan ketika air mata
ini jatuh untuk kelelahan hati yang perih , dan mencoba tetap tegar untuk
saling menguatkan di atas nama cinta. Kami tahu kedepan nya akan terasa semakin
sulit, apalagi ini bukan cinta yang terhitung hari atau minggu. Kami sudah
menjalaninya hampir 2 tahun lamanya. Sudah terlalu banyak sikap toleransi yang
kami tunjukkan satu dengan yang lain.
Bukan tidak ada keinginan dari ku
untuk memiliki hubungan dengan seseorang yang se-iman. Tetapi tuhan juga yang
menunjukkan ku untuk bertemu dengan dia. Dia yang ku “kasihi” dalam segala hal
dan perbedaan. Ketika ada sebuah film yang mengangkat tema “cinta tapi beda”,
aku seketika itu tergidik untuk melihatnya. Hanya sekedar membaca alur cerita
lewat situs resmi nya, terasa ada kesamaan yang terjadi pada cerita itu. Yang
mengisahkan cinta sepasang anak manusia yang ”berbeda” yang dipertemukan dan
disatukan dengan nama cinta. Aku masih penasaran dengan akhir dari cerita
tersebut, yang ku baca terakhir kali adalah ketika mereka sama sama bimbang
untuk menentukan dimana akhir dari cerita cinta ini. Apa mereka berakhir dengan
bahagia, atau hanya menjadi luka yang mendalam.
Kalau menurut kebanyakan orang
ini semua hanya akan menjadi luka karena tidak mungkin terwujud untuk yang
mengalami perbedaan keyakinan seperti ini. Bukan nya membela diri, tetapi tidak
sedikit dari mereka yang tetap berbahagia walau jelas perbedaan itu nyata.
Biarkan kami tetap berpegangan erat dan
saling memiliki, hingga tiba nya nanti. Waktu yang akan membawa dan menjawab
cinta kami pada Nya. Semoga untuk kisah yang sedang kujalani saat ini akan
berakhir dengan indah, tanpa harus ada air mata (lakkum dinnukum wa lliyaddin).
Catatan terindah di akhir tahun
untuk seseorang yang sangat ku kasihi dalam keheningan dan perbedaan ini..